seluruh rasa antusias itu seakan luruh.
Semangatku untuk mendengar cerita Laras, hilang begitu saja.
Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara
paksa.
Di sebuah kamar PONDOK , aku duduk di teras depan kamar. Tangan kananku memegang
sebatang cokelat. Di tangan kiriku, aku memainkan sebuah permainan, di
handphone kesayanganku.
“Tari,
perasaan dari tadi pagi lo makan cokelat terus. Apa enggak takut
gemuk?” tanya Edi , sambil berbaring di tempat tidur yang terletak di
samping kanan tempat tidurku.
“Iya,
gue heran deh sama Lestari. Padahal kalau makan cokelat enggak
tanggung-tanggung. Sekali makan bisa habis dua batang. Tapi kenapa badan
lo enggak gemuk sih?” Any yang dari tadi sibuk ber-SMS-an dengan
Deni, pacarnya, ikut melibatkan diri dalam obrolan kami.
“Jangan-jangan lo muntahin lagi, ya?” timpa Edi, sebelum sempat aku menjawab pertanyaan dari mereka.
“Wah, jangan-jangan iya, nih. Lo bulemia ya?”
“Bulemia?
Yang benar tuh, bulimia. Bukan bulemia. Makanya kalau punya kamus
kedokteran itu dibuka-buka. Jangan disimpan aja,” ledek Edi, sambil
tertawa terbahak-bahak.
Kami pun kemudian tertawa.
Begitulah
suasana di PONDOK bila malam tiba. Selalu ramai dengan canda tawa.
Kata-kata yang Any dan Edi lontarkan, terkadang memang dalam. Tapi
memang begitulah mereka. Ceplas-ceplos.
Untuk
menanggapi mereka yang seperti itu, aku harus menganggap bahwa
kata-kata yang mereka lontarkan itu tidak serius. Mereka hanya bercanda.
Kalau aku mengganggap serius kata-kata mereka. Dijamin, aku enggak akan
betah tinggal di kost-an.
“Eh, tapi benar enggak sih, kalau lo bulimia?”Yeny masih penasaran.
“Ya,
enggak lah. Ngapain juga gue harus muntahin makanan yang sudah gue
makan. Kalau gue ngelakuin itu, bisa-bisa, dinding perut, usus, ginjal,
gigi, semuanya rusak. Dan yang lebih parah, gue bisa meninggal karena
kekurangan gizi. Mending gue meninggal karena dicium Fikri, dari pada
gue meninggal karena kekurangan gizi,” aku yang sejak tadi bergeming,
akhirnya menanggapi kata-kata mereka.
“Cieee... yang tadi pagi baru jadian. Omongannya enggak nahan.”
Tok... tok... tok....
Tiba-tiba pintu rumah di ketuk dari luar.
Edi, yang bertugas piket hari ini, bangkit untuk membukakan pintu.
“Tari,
gue mau curhat!” Laras, saudara kembarku, sudah berdiri di depan pintu
kamar, padahal baru lima belas detik Edi membuka pintu. Laras kemudian
langsung berlari ke arahku.
“Lo ke sini sama siapa? Sudah malam begini,” tanyaku, heran.
“Sendiri. Gue sengaja ke sini, mau curhat sama elo. Lagian, besok gue enggak ada jadwal kuliah. Jadi gue bisa nginep di sini.”
“Eh... enggak bisa, enggak bisa. Bertiga aja sudah sempit. Apalagi ditambah satu gajah.” Any protes.
“Teman lo keterlaluan banget, sih. Masa gue dibilang gajah. Lagian, kamar ini kan masih luas banget!” Laras marah.
“Any memang begitu. Udah, enggak usah di masukin ke hati. Cuekin aja. Kita pindah ke kamar sebelah aja, yuk.”
Aku
dan Laras kemudian bergeras meninggalkan kamar yang ditempati Any dan Edi. Kami menuju kamar yang lain, yang terletak tidak jauh dari kamar
mereka.
Di rumah yang
kami kontrak ini, hanya mempunyai dua kamar. Satu kamar untuk tidur.
Satu kamar lagi untuk lemari pakaian dan rak buku. Kami sengaja
mengaturnya seperti itu. Karena yang tinggal di rumah ini bukan hanya
dua orang. Melainkan tiga orang. Selain itu, agar kebersamaan dan
kekeluargaan di antara kami lebih terasa.
Sesampainya
di kamar, laras langsung merebahkan diri ke karpet, yang berada tepat
di tengah-tengah deretan lemari. Aku yang memang sudah lelah, ikut
berbaring di sampingnya.
“Tari,
lo tahu enggak. Tadi pagi gue ketemu cowok, cakep banget. Rambutnya
ikal, matanya cokelat, hidungnya mancung, senyumnya manis, terus di pipi
kanannya ada tahi lalat. Pokoknya sempurna banget, deh. Gue suka sama
dia.”
“Ketemu di mana?
Namanya siapa?” tanyaku, antusias. Perasaan lelah itu hilang seketika,
tergantikan olah semangat yang baru. Karena baru kali ini Laras
menceritakan tentang perasaannya pada seorang pria. Baru kali ini dia
jatuh cinta. Padahal usianya sudah hampir sembilan belas tahun.
“Gue ketemu dia waktu di toko buku. Namanya Fikri.”
“Siapa?!” tanyaku, tak percaya.
“Fikri. Miftahul Fikri. Kalau enggak salah, dia juga kuliah di kampus lo, di
jurusan Kesehatan Masyarakat. Lo kenal?! Ih... salamin ya.”
Seluruh
rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita
Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung
hatiku, tercabut secara paksa. Meskipun begitu, aku tidak ingin
mengecewakan Laras. Aku tetap mendengarkan cerita tentang pertemuannya
dengan Fikri. Tak tega rasanya membuatnya kecewa. Ia begitu bersemangat,
begitu bahagia.
Aku
benar-benar bingung sekarang. Aku harus bagaimana?! Laras ternyata
mencintai Fikri, pacarku sendiri. Ini bukan salahnya, karena dia tidak
pernah mengetahui bahwa aku dan Fikri, sebenarnya pacaran. Ini adalah
kesalahanku sepenuhnya, karena aku tidak pernah memberi tahu Laras. Tapi
aku tidak tega menghancurkan perasaannya. Cinta pertamanya!
***
“Fikri, hari ini kamu masih ada jam sekolah enggak?”
“Enggak ada. Memang ada apa?”
“Aku ingin ke pantai. Kamu mau menemaniku?”
“Untuk kamu, apa sih yang enggak?”
“Ya sudah. Berangkat, yuk.”
“Oke.”
RX King milik Fikri melaju dengan kencang. Membelah jalanan Kota Baja yang penuh debu.
Semilir
angin pantai menerpa wajah tirusku, yang terduduk bagai di hamparan
lautan es kim. Rambut ikal bergelombang menari mengikuti arah angin
berhembus. Lenganku memeluk lutut. Pandanganku lurus ke garis
horizontal.
Fikri duduk
di samping kiriku. Kedua kakinya diluruskan. Tangannya meremas
butir-butir pasir yang ada di samping kanan dan kirinya. Selama beberapa
saat kami terdiam. Hanya suara debur ombak yang terdengar.
“Tari, sebenarnya apa yang ingin kamu katakan?” tanya Fikri, tiba-tiba. Ia seakan merasakan ada sesuatu yang kusembunyikan.
Aku bangkit, kemudian berseru, “Fikri, aku ingin bermain dengan ombak.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Fikri kemudian menggenggam dengan lembut tanganku. Aku menatapnya. Mataku dan matanya saling beradu. Ada kepedihan di hatiku.
Aku
melepaskan genggaman Fikri. Dengan gontai aku melangkah, mendekati riak
ombak yang menjilati hamparan es krim itu. Fikri menyejajarkan
langkahnya dengan langkahku.
Aku hentikan langkahku, saat ombak yang menerjang kakiku semakin kuat. Fikri masih berada di sampingku.
“Sayang, kamu kenapa? Pasti ada sesuatu hal yang ingin kamu katakan padaku.”
“Fikri, kita adu lari, yuk. Sampai tembok pembatas itu ya,” untuk kedua kalinya aku mengalihkan pembicaraan.
“Oke. Tapi kalau kamu kalah, kamu harus mengatakan yang sejujurnya. Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan.”
Setelah
aku merasa letih, aku kemudian berhenti dan berbalik. Ternyata aku
sudah jauh meninggalkan Fikri, yang memang tidak ikut berlari. Masih
dengan nafas tersengal-sengal, aku kembali berlari ke arah Fikri. Aku
merasakan beban di hatiku kini sedikit berkurang.
“Kamu curang,” seruku, masih dengan tersengal-sengal.
“Kamu larinya semangat banget, sih. Jadi aku enggak bisa menyusul deh,” jawab Fikri, sekenanya.
Aku
kemudian terdiam. Pandanganku kembali tertuju ke garis horizontal.
Namun kini, sebuah senyuman mengembang dari bibir tipisku. Perasaanku
lebih tenang.
“Sayang, sebenarnya ada apa sih?”.
“Aku
hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Hanya bersamamu, hari ini,”
jawabku. Pandanganku masih tertuju ke garis horizontal.
Fikri
kemudian tersenyum, sambil berkata, “Aku pikir kamu mau cerita sesuatu.
Karena kamu selalu mengajak aku ke pantai, kalau mau cerita sesuatu.”
“Masa, sih?”
“Bukannya iya?”
Kami
pun bercanda dan tertawa. Menghabiskan hari ini bersama. Berdua, di
tepi pantai. Kami bercanda dan tertawa, hingga senja berada di ufuk
barat.
***
Kala
senja berada di ufuk Barat, tepat berada di tengah garis horizontal,
aku mengatakan, “Fikri, aku sudah memutuskan bahwa aku enggak bisa
melanjutkan hubungan kita. Aku enggak bisa pacaran sama kamu. Ada
seseorang yang lebih pantas untukmu.”
“Maksud kamu apa?!”
Aku
kemudian menarik nafas, dalam dan panjang. Menghembuskannya perlahan.
Aku berusaha untuk tersenyum, meskipun hatiku terluka. Sama seperti yang
Fikri rasakan saat ini.
“Aku
sudah terlalu sering menyakitimu. Aku tidak berhak mendapatkan cintamu.
Kamu berhak mendapatkan wanita lain yang lebih baik dariku. Dia adalah
Laras.”
“Laras?! Saudara
kembarmu? Lestari, cinta itu bukan bola, yang bisa kamu oper sesuka
hatimu. Sekalipun, kepada saudara kembarmu!” Fikri marah besar.
Hatiku
semakin terluka. Aku menyadari, bahwa cinta memang bukanlah sebuah
bola. Tapi demi kebahagiaan Laras, aku berharap, cintamu padaku seperti
halnya sebuah bola. Sehingga cinta itu bisa dioper kepada Laras. Dan
membuatnya bahagia.
0 komentar:
Posting Komentar